Polemik pembangunan gereja
Permasalahan terkait penolakan pendirian rumah ibadah kembali mencuat di muka publik khususnya jagat maya. Publik kembali dihadapkan kepada aksi intoleransi yang terjadi terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha Cilegon. Beberapa kelompok masyarakat bahkan perangkat Daerah Kota Cilegon secara gamblang menolak rencana pendirian gereja HKBP Maranatha yang berlokasi di Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon.
Pada 7 September 2022, sejumlah masyarakat yang mengklaim diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama melakukan aksi untuk menolak adanya pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon yang berlangsung di depan Kantor DPRD Kota Cilegon dan Kantor Walikota Cilegon. Aksi tersebut kemudian dibumbui dengan kegiatan tanda tangan petisi sebagai tanda partisipasi publik untuk menolak pembangunan gereja tersebut. Sedihnya lagi, jajaran perangkat Daerah Kota Cilegon seperti Wali Kota, Wakil Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Cilegon ikut serta menandatangani petisi penolakan tersebut.
Aksi intolernasi tersebut didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975. Surat keputusan tersebut konon mengatur mengenai penutupan gereja dan rumah ibadat bagi jemaat Kristen di daerah Kabupaten Serang yang sebenarnya telah diteken lebih dari empat dekade lalu. Lebih gilanya lagi, mereka mendesak Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Cilegon untuk segera membuat pengaturan baru yang dapat memperkuat keberadaan SK tersebut agar dapat berlaku selamanya.
Padahal sejatinya, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sudah dijamin oleh konstitusi. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadahnya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu, mengenai prosedur pendirian rumah ibadat juga diatur di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
Tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Cilegon sudah mencederai hak kebebasan beragama dan menjalankan ibadah jemaat HKBP Maranatha Cilegon. Mereka menolak pendirian gereja yang sejatinya merupakan kebutuhan spiritual pokok bagi jemaat HKBP Maranatha Cilegon dengan dalih ada SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975. Padahal, apabila mengutip pernyataan dari Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), Wawan Djunaedi menerangkan bahwa, “Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.”
Jika peristiwa-peristiwa intoleransi terus terjadi, keberagaman bukan menjadi hal yang indah lagi. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi menjadi semangat persatuan di tengah keberagaman melainkan hanya frasa indah yang ditulis di secarik kertas. Kerukunan antar umat beragama hanya menjadi mimpi belaka.
Sudah saatnya Indonesia berbenah diri untuk menuntaskan berbagai masalah intoleransi seperti ini. Peristiwa intoleransi seperi yang terjadi di Cilegon ini tidak boleh terulang kembali. Polemik intoleransi ini sudah selayaknya dibicarakan dengan kepala dingin untuk dicari jalan keluarnya. Pemerintah selaku pemangku kekuasaan seharusnya menjadi fasilitator dan penengah dalam menyelesaikan problematika ini bukan malah ikut-ikutan memperkeruh suasana. Selain itu, penting sekali untuk kembali menghidupi semangat Bhineka Tunggal Ika di dalam kehidupan antar umat beragama, serta menumbuhkan semangat toleransi, saling menghargai dan memaklumi antar umat beragama yang dimulai dari diri masing-masing. Niscaya, kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah seperti yang tertulis pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bukan hanya iming-iming semata melainkan dapat direalisasikan seutuhnya.
sumber berita : Kumparan.com