PERNIKAHAN BEDA AGAMA
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Oleh: Vaniya Siswanto Putri
A. Pengertian dan Hukum Nikah
Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu: Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi. Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah. Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara menurut pendapat sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah.
B. Dasar Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221 yang menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman, Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan. Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang yang berbeda keyakinan dalam beragama melakukan pernikahan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, bila pernikahan ini terjadi, pertanyaan yang mendasar adalah bagaimanakah hukum pernikahan tersebut? “pertanyaan ini tidak akan dijumpai jawabannya dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974,” karena Undang- undang ini mengembalikan suatu keabsahan perkawinan kepada agamanya masing- masing, hal ini termaktub dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya.”
C. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
1) Pernikahan dengan non muslim/ kafir
Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar AlQur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya.
2) Pernikahan dengan ahli kitab.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orangorang Israel, tidak termasuk bangsabangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.
Jumhur ulama berpendapat tidak sah wanita Muslimah menikah dengan lelaki nonMuslim. Sementara, keterangan ahli kitab dalam surah al-Baqarah di atas menurut kitab al-Muhadzdzab juz II halaman 44 sudah tidak berlaku. Saat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, menurut kitab yang menjadi rujukan ulama NU ini sudah mengalami perubahan. Lelaki Muslim dilarang menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani karena mereka telah masuk dalam agama yang batil. Beragamanya wanita Yahudi dan Nasrani sama seperti seorang Muslim yang murtad.
Selain itu, MUI berpandangan bahwa perkawinan antara muslim dengan non-muslim tidak diperbolehkan karena mesti berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan atau suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Pencatatan nikah bagi umat Islam dipertegas kembali dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat 2. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah di KUA. Dengan demikian, hanya terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan, yakni KUA dan kantor catatan sipil.
D. Pendapat 4 Madzhab Mengenai Pernikahan Beda Agama
Berdasarkan kajian dalam berbagai pandangan madzhab, mereka cenderung tidak memperbolehkan pernikahan lintas agama atau yang lebih dikenal dengan pernikahan beda agama antara seorang Muslim dengan non Muslim, kecuali ahli kitab yaitu yang pada masa Nabi Muhammad SAW mereka beragama Yahudi atau Nasrani, dan ajarannya dianggap masih murni. Dalam fiqh, biasanya seorang laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli kitab, dan seorang perempuan Muslim tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli kitab. Pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama.
1) Madzhab Hanafi
Para ulama dari madzhab Hanafi menghalalkan laki-laki Muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab, baik dari Bani Israil maupun bukan, yang merdeka maupun budak. Akan tetapi, kebolehan ini diberikan kepada laki-laki Muslim yang kuat iman dan aqidahnya, serta yang tauhidnya kuat dan tidak ditakuti dia akan goyah dari agamanya karena berlainan agama dengan perempuan ahli kitab tersebut. Dia tetap menjadi suami yang memimpin dalam rumah tangganya dengan cara menjadi teladan yang baik dalam ketaatan kepada Allah SWT bagi keluarganya juga keluarga isterinya.
2) Madzhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa makruh menikahi perempuan ahli kitab yang dzimmi karena walaupun berada di daerah Islam, mereka tetap diperbolehkan minum khamr, memakan babi, dan pergi ke gereja, sementara suaminya tidak mengerjakan semua itu, sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan mempengaruhi anak-anaknya ketika tumbuh dewasa dengan watak yang tidak sesuai dengan ajaran agama ayahnya (Islam). Kemudian wanita ahli kitab yang berada di dar al-harb (harbiyah) perkaranya lebih berat lagi karena mereka tidak tunduk dengan hukumhukum Islam sehingga dikhawatirkan laki-laki Muslim yang menjadi suaminya akan terpengaruh dengan sikap isterinya yang bertentangan dengan Islam, serta akan mendorong anak-anaknya memeluk agama lain selain agama ayahnya.
3) Madzhab Syafi`i
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi perempuan merdeka ahli kitab bagi setiap Muslim, karena Allah SWT menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Perempuan ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yaitu kitab Taurat dan Injil, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. Imam Syafi’i mengemukakan bahwa yang termasuk golongan perempuan ahli kitab yang boleh dinikahi adalah perempuan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil, bukan wanita Majusi atau wanita dari bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, baik suku Arab maupun non Arab. Juga bukan termasuk ahli kitab perempuan yang berpegang teguh pada kitab Zabur dan kitab lain seperti suhuf Nabi Idris, dan Ibrahim a.s. Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh menikahi wanita selain Yahudi dan Nasrani walaupun mereka dikenai jizyah. Dalam pandangan madzhab ini yang dimaksud perempuan Israil ialah mereka yang beriman sebelum diturunkannya wahyu al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al-Qur’an dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka diharamkan menikahi perempuan-perempuan mereka sebagaimana diharamkannya menikahi perempuan-perempuan Majusi. Adapun menikahi budak perempuan ahli kitab, para ulama Syafi’i mengharamkannya.
4) Madzhab Hambali
Imam madzhab sepakat melarang laki-laki Muslim untuk menikah dengan perempuan non Muslim, kecuali non Muslim itu adalah ahli kitab yang beragama Samawi, yaitu Nasrani atau Yahudi yang paham kitab Taurat dan Injil. Sedangkan perempuan Muslim dilarang menikah dengan laki-laki non Muslim baik laki-laki ahli kitab ataupun laki-laki musyrik. Al-Qur’an menyebutkan pelarangan tentang pernikahan beda agama terhadap laki-laki Muslim dengan perempuan kafir yang musyrik dan juga melarang perempuan Muslim menikah dengan laki-laki kafir. Namun al-Qur’an membolehkan laki-laki yang Muslim menikah dengan perempuan non Muslim, dengan syarat yang dinikahi hanya perempuan non Muslim yang beragama samawi (ahli kitab) seperti Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, dianjurkan bagi umat Muslim untuk tetap berusaha memilih pasangan hidup yang seaqidah, yang tentunya agamanya baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa “Wanita dinikahi karena empat alasan; karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Carilah yang taat beragama, niscaya kalian beruntung” (HR. Bukhari dan Muslim).
REFERENSI
Dardiri, A. H., Tweedo, M., & Roihan, M. I. (2013). Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam Dan Ham. Khazanah: Jurnal Mahasiswa, 99-117.
Fuadi, A., & Sy, D. A. (2020). Pernikahan Beda Agama Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia. Jurnal Hadratul Madaniyah, 7(2), 1-14.
Hasan, B. (2021). Perkawinan Beda Agama. Aggiornamento, 2(02), 13-25.
Musahib, A. R. (2021). Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam. Jurnal Inovasi Penelitian, 1(11), 2283-2288.
Yulianti, Y. (2022). PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN EMPAT MADZHAB. Darussalam, 23(02).