Intoleransi , penolakan pembangunan gereja di Cilegon
Toleransi merupakan satu kata yang sering diucapkan di negara Indonesia ini. Mengingat Indonesia yang kaya akan keberagaman ras, agama, suku, dan bahasa. Namun pada kenyataannya masih ada saja oknum yang melanggarnya dengan berbagai alasan. Seperti pada kasus yang terjadi di Cilegon, Banten yang sempat ramai menjadi perbincangan publik.
Berita yang dilansir dari BBC News Indonesia menjelaskan adanya kasus intoleransi yang terjadi di Cilegon. Wali kota dan wakilnya yang memberikan tanda tangan pada kain yang digunakan sebagai bukti dukungan terhadap penolakan pembangunan gereja di kawasan setempat. Tindakan tersebut tertangkap oleh kamera dan tersebar di Twitter pada Rabu (07/09) sehingga menuai banyak kontra dari warganet.
Pada video tersebut menunjukkan Helldy Agustian selaku wali kota Cilegon beserta wakilnya memberikan tanda tangan pada kain putih sepanjang kurang lebih dua meter sebagai bukti memberi dukungan. Tindakan tersebut merupakan bentuk intoleransi terhadap perbedaan agama yang ada di Cilegon, hingga menolak pembangunan tempat ibadah.
Data yang ditulis oleh (Kusnandar, 2022) pada laman databoks menunjukan tidak adanya bangunan gereja yang berdiri di Cilegon, padahal (Kusnandar, 2022) juga menuliskan jumlah masyarakat berdasarkan agama di Cilegon terdapat sejumlah 7.003 beragama Kristen dan 1.823 beragama Katolik. Mirisnya tidak ada satupun bangunan gereja di Cilegon. Jika berpatok pada data yang sama menunjukan mayoritas di kawasan tersebut adalah penduduk beragama Islam dengan 455,72 ribu jiwa atau setara dengan (97,64%).
Minoritas pada kasus ini ialah masyarakat di Cilegon yang beragama nonmuslim. Terlihat dari jumlah penduduknya yang sangat kecil persentasenya dibandingkan dengan masyarakat beragama Islam. Seperti yang sempat Helldy Agustian singgung mengenai alasan memenuhi keinginan masyarakat setempat, lantas keinginan masyarakat mana yang ia maksud? apa keinginan masyarakat mayoritas yang dimasuksud?
Kebijakan tegas seharusnya dapat ia tegakkan selaku wali kota Cilegon, untuk memenuhi hak-hak masyarakat setempat. Bukan justru ikut menandatangani penolakan pembangunan gereja bersama dengan masyarakat lain. Lantas bagaimana nasib masyarakat yang ingin beribadah di gereja tersebut. Sudah seharusnya kasus ini segera diselesaikan dan dicari jalan keluar yang adil untuk seluruh pihak terkait.
Kasus penolakan pembangunan gereja di Cilegon ini cukup menjadi cambukan dan pengingat bagi kita semua agar dapat lebih peka untuk menghargai berbagai perbedaan yang ada. Mulai dari diri sendiri, orang di sekitar, terlebih seorang pemimpin sebuah wilayah untuk dapat lebih menegakkan toleransi. Semoga tidak ada lagi kasus serupa di tengah adanya perbedaan ini agar kita semua dapat hidup dengan damai dengan haknya yang terpenuhi.
sumber berita : Kumparan.com
Follow Us